CANDI GEDONG SONGO
Candi Gedong Songo adalah nama sebuah komplek
bangunan candi peninggalan budaya Hindu yang terletak di desa Candi, Kecamatan
Bandungan, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Indonesia tepatnya di lereng Gunung
Ungaran. Di kompleks candi ini terdapat sembilan buah candi. Candi ini
diketemukan oleh Raffles pada tahun 1804 dan merupakan peninggalan budaya Hindu
dari zaman Wangsa Syailendra abad ke-9 (tahun 927 masehi). Candi ini memiliki
persamaan dengan kompleks Candi Dieng di Wonosobo. Candi ini terletak pada
ketinggian sekitar 1.200 m di atas permukaan laut sehingga suhu udara disini
cukup dingin (berkisar antara 19-27 °C). Lokasi 9 candi yang tersebar di lereng
Gunung Ungaran ini memiliki pemandangan alam yang indah. Selain itu, obyek
wisata ini juga dilengkapi dengan pemandian air panas dari mata air yang
mengandung belerang, area perkemahan, dan wisata berkuda.
Candi Gedong Songo merupakan warisan Cagar
Budayayang berada di lereng Gunung Ungaran, tepatnya di Dusun Darum, Desa
Candi, Kecamatan Ambarawa, KabupatenSemarang - Jawa Tengah. Kompleks
candi ini dibangun pada abad ke-9 masehi. Gedong Songo berasal dari bahasa
Jawa, yakni “Gedong” berarti rumah atau bangunan, “Songo” berarti sembilan.
Jadi Arti kata Gedong Songo adalah sembilan (kelompok) bangunan. Lokasi 9 candi
yang tersebar di lereng Gunung Ungaran ini memiliki pemandangan alam yang
indah. Di sekitar lokasi juga terdapat hutan pinus yang tertata rapi serta mata
air yang mengandung belerang. Terkadang kabut tipis turun dari atas gunung
sering muncul yang mengakibatkan mata tidak dapat memandang Candi Gedong Songo
dari kejauhan. Candi ini memiliki persamaan dengan kompleks Candi Dieng di
Wonosobo. Candi ini terletak pada ketinggian sekitar 1.200 m di atas permukaan
laut sehingga suhu udara disini cukup dingin.
Untuk menuju ke Candi Gedong I, kita harus
berjalan sejauh 200 meter dari pintu masuk melalui jalan setapak yang naik.
Kita dapat memanfaatkan jasa transportasi kuda untuk berwisata mengelilingi
obyek wisata Candi Gedong Songo. Perjalanan dapat kita teruskan menuju Candi
Gedong II kurang lebih 300 meter dengan mengikuti jalan setapak yang sudah di
paving.
Disela-sela antara Candi Gedong III dengan
Gedong IV terdapat sebuah kepunden gunung sebagai sumber air panas dengan
kandungan belerang cukup tinggi. Para wisatawan dapat mandi dan menghangatkan
tubuh disebuah pemandian yang dibangun di dekat kepunden tersebut. Bau
belerangnya cukup kuat dan kepulan asapnya lumayan tebal ketika mendekati
sumber air panas tersebut.
Setelah dari Candi Gedong IV dapat kita
teruskan menuju Candi Gedong V yang berada di bukit paling atas dan
merupakan candi terakhir yang kami temukan. Mengapa Candi terakhir ?? karena
tidak ada lagi candi setelah candi ini. Mungkin sisanya telah hancur
bangunannya dan penyebab-penyebab lainnya. Perlu di ketahui bahwa di Candi Gedong
V ini ada 2 - 3 candi yang bangunannya juga tidak utuh lagi begitu juga
candi-candi sebelum Candi Gedong V ini. Obyek Wisata Candi Gedong Songo cocok
sekali untuk refreshing pemandangan alam sekaligus trekking. Karena dari Pintu
masuk hinga Candi terakhir yaitu Candi Gedong V lumayan menanjak. Dan sangat
dekat sekali dengan Puncak Gunung Ungaran. Pemandangan dari Candi Gedong V
sangat indah sekali, ke arah bawah kita dapat melihat Rawa Pening di Salatiga
dan Kota Ambarawa. Ke arah belakang / atas dapat kita lihat Puncak Gunung
Ungaran yang sangat indah di selingi asap belerang yang muncul dari sela-sela
jurang antara Candi Gedong III dan IV.
Tahun 1740, Loten menemukan kompleks Candi
Gedong Songo. Tahun 1804, Raffles mencatat kompleks tersebut dengan nama Gedong
Pitoe karena hanya ditemukan tujuh kelompok bangunan. Tahun 1925 Van Braam
membuat publikasi mengenai Candi ini. Tahun 1865 Friederich dan Hoopermans.
KISAH
PEMBANGUNAN CANDI GEDONG SONGO
Candi Gedong Songo dibangun pada masa Sang Ratu
Shima, raja Kalinggajati. Kerajaan Kalingga atau Kalinggajati adalah kerajaan
sahabat Kerajaan Galuh di Tlatah Parahyangan. Masih kerabat Kraton Galuh. Ratu
Shima memperoleh petunjuk dari Yang Maha Kuasa untuk mendirikan candi sebagai tempat pemujaan
kepada
Atas petunjuk Yang Maha Kuasa, Ratu Shima kemudian mengutus suatu
rombongan dari Kerajaan Kalinggajati menuju Bukit Ngungrungan. Berangkatlah
rombongan sang ratu ini untuk melakukan pencarian Bukit Suralaya atau Bukit
Ngungrungan (sekarang : Gunung Ungaran), yang dipercaya sebagai calon lokasi
pesanggrahan para dewa. Perjalanan ini dipimpin oleh Ki Ajar Salokantoro (Ki
Ajar Saloka Antara), seorang ajar (guru agama) Hindu yang tampan, rupawan, dan
gagah perkasa. Tanpa sepengetahuan rombongan tersebut, Sang Ratu Shima menyusul
rombongan secara rahasia/gaib dan mampu mendahului rombongan, kemudian
mengikuti diam-diam dari belakang.
Di suatu tempat sang Ajar melarang untuk
melakukan, sehingga tempat tersebut dinamai Dusun Larangan. Kemudian dalam
perjalanan lebih keatas lereng gunung tersebut adatempat yang berbau harum,
yang dinamakan dusun Darum.dan sampailah pada tempat yang dituju. Di lokasi
tersebut rombongan kerajaan melakukan puja semedi dengan menutup Babahan Hawa
Songo (sembilan lubang pada tubuh manusia), yang diistilahkan "Nggedong
Babahan Howo Songo" (Nggedong artinya mengikat).
Kemudian dimulailah pembuatan candi-candi
sebagai tempat pesanggrahan tersebut. Dalam proses pembuatan candi, dibuatlah
rancangan candi pertama, kedua, hingga candi kedelapan. Ada candi induk dan ada
pula candi pendamping/perwara. Di dalam rombongan terdapat beberapa dayang dan
tukang masak, yang dipimpin seorang "lurah". Lurah tersebut
bernama Roro Ari Wulan (Ari = Matahari, Wulan = Bulan). Tiada yang mengetahui
bahwa Roro Ari Wulan sesungguhnya adalah Sang Ratu Shima sendiri. Ajar
Salokantara berpesan agar para tukang masak tidak memangku pisau (hanya
kata sandi) ketika bekerja. Kebetulan, Roro Ari Wulan tidak memegang pisau pada
saat itu, sehingga dia dipinjami pisau oleh sang ajar. Ketika sedang bekerja
mengatur para juru masak, Roro Ari Wulan khilaf dan memangku pisau pinjaman
dari sang ajar. Maka terjadilah bencana. Pisau tersebut hilang lenyap tanpa
bekas. Roro Ari Wulan kaget sekali melihat hal ini, kemudian bertanya kepada
sang ajar. Sang Ajar menjawab bahwa pisau tersebut telah masuk secara gaib ke
dalam rahim Roro Ari Wulan. Ternyata benar, beberapa bulan kemudian Roro Ari
Wulan hamil. Karena diliputi perasaan malu karena hamil, Roro Ari Wulan
memutuskan untuk berpisah dengan rombongan dan menyepi di suatu tempat, hingga
saatnya melahirkan. Pada saat Roro Ari Wulan hamil Ki salokantoro pergi
meninggalkan Gedong songo yang kurang candi ke sembilan menuju pertapaan di
gunung Telomoyo. Ketika melahirkan, dia kaget sekali karena ternyata anaknya
adalah seekor ular. Anak itu kemudian dinamai Naga Bandung atau Bra Klinting
(artinya: Klinting yang Agung). Didorong oleh rasa ingin tahu yang sangat
besar, Bra Klinting ketika mulai remaja, pamit kepada ibunya, untuk menemui
ayahnya, Ajar Salokantara. Selanjutnya...... silahkan melihat Legenda
Baru Klinthing.
Komentar
Posting Komentar