PRASASTI PLUMPUNGAN
Prasasti
Plumpungan (juga disebut Prasasti Hampran) adalah prasasti yang tertulis dalam
batu besar berjenis andesit berukuran panjang 170 cm, lebar 160 cm dengan garis
lingkar 5 meter. Prasasti ini ditemukan di Dukuh Plumpungan, Desa Kauman Kidul,
Kecamatan Sidorejo, berangka tahun 750 Masehi. Prasasti ini dipercaya sebagai
asal mula kota Salatiga.
Terdapat beberapa sumber sejarah mengenai asal-asul Salatiga, baik yang berasal dari cerita rakyat atau prasasti, maupun hasil penelitian yang membahas secara rinci sejarah kontemporer. Situs resmi pemerintah kota Salatiga memberi banyak informasi mengenai sejarah kota tersebut. Di antara beberapa sumber sejarah kota Salatiga, yang dijadikan dasar untuk cerita asal-usul kota tersebut adalah Prasasti Plumpungan. Hari Jadi Kota Salatiga dibakukan berdasarkan informasi yang terdapat dari naskah prasasti ini. Pada tanggal
24 Juli tahun 750 Masehi (Ditetapkan oleh Peraturan Daerah Tingkat II Salatiga Nomor: 15 Tahun 1995; Tentang Hari Jadi Kota Salatiga). Suatu daerah baru yang dinamakan Hampra diresmikan di Jawa.
Terjemahan :
1. Semoga bahagia ! Selamatlah rakyat sekalian ! Tahun Saka telah berjalan
672/4/31 (24 Juli 760 M) pada hari Jumat
2. tengah hari
Terdapat beberapa sumber sejarah mengenai asal-asul Salatiga, baik yang berasal dari cerita rakyat atau prasasti, maupun hasil penelitian yang membahas secara rinci sejarah kontemporer. Situs resmi pemerintah kota Salatiga memberi banyak informasi mengenai sejarah kota tersebut. Di antara beberapa sumber sejarah kota Salatiga, yang dijadikan dasar untuk cerita asal-usul kota tersebut adalah Prasasti Plumpungan. Hari Jadi Kota Salatiga dibakukan berdasarkan informasi yang terdapat dari naskah prasasti ini. Pada tanggal
24 Juli tahun 750 Masehi (Ditetapkan oleh Peraturan Daerah Tingkat II Salatiga Nomor: 15 Tahun 1995; Tentang Hari Jadi Kota Salatiga). Suatu daerah baru yang dinamakan Hampra diresmikan di Jawa.
Salah
satu sumber sejarah Kota Salatiga adalah Prasasti Plumpungan. Cerita mengenai Kota
Salatiga ini tertulis atas batu berukuran besar berjenis andesit berukuran
panjang 170 cm, lebar 160 cm, dengan lingkaran sepanjang 5 meter yang secara
umum dikenal sebagai Prasasti Plumpungan. Prasasti tersebut berada di Desa
Beringin (4 km dari kota Salatiga), dengan koordinat Lintang : 7°18’25.32"
Lintang Selatan dan koordinat Bujur : 110°30’46.02"
Bujur Timur.
Dukuh
Plumpungan, Kelurahan Kauman Kidul, Kecamatan Sidorejo. Berdasarkan isi naskah
batu tersebut, Salatiga sudah ada sejak tahun 750 Masehi, yang pada saat itu
merupakan wilayah Perdikan (wilayah merdeka, atau bebas pajak). J. G. de
Casparis (sejarawan dan ahli epigrafi) mengalihkan tulisan yang terdapat di
atas prasasti Plumpungan secara lengkap, dan kemudian tulisan tersebut
disempurnakan oleh R. Ng. Poerbatjaraka. Prasasti Plumpungan berisi ketetapan
hukum tetang status tanah perdikan atau swatantra bagi suatu daerah yang dahulu
dinamakan Hampra, yang berada di wilayah Trigramyama (sekarang :
Salatiga). Tidak setiap daerah kekuasaan bisa dijadikan daerah Perdikan
pada masa itu, maka pemberian status ini adalah hak yang istimewa yang diberi
oleh seorang raja kepada rakyat yang telah berjasa kepada raja dalam melakukan
pemeliharaan tempat ibadah serta perkembangan agama Hindu. Penetapan yang ditulis
di prasasti Plumpungan dapat diartikan sebagai titik tolak berdirinya daerah
Hampra secara resmi sebagai daerah Perdikan. Perdikan adalah suatu daerah dalam
kerajaan tertentu yang dibebaskan dari segala kewajiban pembayaran pajak atau
upeti karena memiliki kekhususan tertentu. Status perdikan tersebut diberikan
kepada desa atau daerah yang berjasa kepada seorang raja. Para sejarawan
memperkirakan bahwa masyarakat Hampra telah berjasa kepada Raja Bhanu.
Raja
Bhanu adalah seorang raja besar yang sangat memperhatikan rakyatnya, dan yang
memiliki daerah kekuasaan meliputi sekitar Trigramyama (Salatiga), Kabupaten
Semarang, Ambarawa, dan Kabupaten Boyolali. Berdasarkan prasasti-prasasti
lainnya, yang berkaitan dengan Dinasti Syailendra, raja Bhanu (752- 775 M)
adalah raja keturunan Sanjaya, yang mendirikan Dinasti Syailendra, yang
berpaham Buddha.
Raja
Bhanu alias Rakai Panangkaran Dyah Pancapana (mutiara Wangsa Syailendra) ini
digantikan oleh Wisnu (775- 782 M). Pada masa raja Wisnu ini, Candi Borobudur mulai
dibangun, tepatnya pada tahun 778 Masehi.
Kemudian,
kekuasaan Wisnu dilanjutkan oleh raja Indra (782 -812 M) alias Rakai
Panunggalan Dyah Dharanindra. Pada masa pemerintahannya, raja Indra atau
Dharanindra membuat Prasasti Klurak yang berangka tahun 782 M, di daerah
Prambanan. Dinasti Syailendra menjalankan politik ekspansi pada masa
pemerintahan Raja Indra. Perluasan wilayah ini ditujukan untuk menguasai
daerah-daerah di sekitar Selat Malaka. Selanjutnya, yang memperkokoh pengaruh
kekuasaan Syailendra terhadap Sriwijaya adalah karena Raja Indra menjalankan
perkawinan politik. Raja Indra mengawinkan putranya yang bernama Samarottungga
dengan putri Raja Sriwijaya. Setelah raja Indra, naik tahta-lah Samaratungga
(812 – 833 M). Raja Samaratungga berperan menjadi pengatur segala dimensi
kehidupan rakyatnya. Sebagai raja Mataram yang berpaham Buddhis, Samaratungga
sangat menghayati nilai agama dan budaya. Pada zaman kekuasaannya dibangun
Candi Borobudur.
Namun
sebelum pembangunan Candi Borobudur selesai, Raja Samarottungga meninggal dan
digantikan oleh putranya yang bernama Balaputradewa yang merupakan anak dari
selir yang bernama Dewi Tara. Kemudian, terjadi suatu perpecahan, dimana
Pramodhawardhani (883 – 856 M), saudara satu ayah lain ibu dari Balaputradewa,
yang dikenal cerdas dan cantik (bergelar Sri Kaluhunan. Artinya seorang sekar
keraton yang menjadi tumpuan harapan bagi rakyat). Pramodhawardhani kemudian
menjadi permaisuri raja Rakai Pikatan Dyah Manuku, Raja Mataram Kuno dari
Wangsa Sanjaya. Kekuasaan Mataram Kuno jatuh lagi ke tangan keturunan Sanjaya.
Balaputera Dewa (883 – 850 M) tidak setuju dan merasa berhak mendapatkan tahta
tersebut karena beliau merupakan anak laki-laki berdarah Syailendra dan tidak
setuju terhadap tahta yang diberikan Rakai Pikatan yang keturunan Sanjaya.
Dalam peperangan saudara tersebut Balaputera Dewa mengalami kekalahan dan
melarikan diri ke Palembang.
Prasasti
Plumpungan diperkirakan dibuat pada hari Jumat, tanggal 24 Juli tahun 750
Masehi. Naskah tersebut ditulis oleh seorang Citraleka (sekarang dapat disebut
penulis,penggarap naskah atau pujangga) yang dibantu oleh sejumlah pendeta
(resi) dan ditulis dalam Bahasa Jawa Kuno. Dimulai dengan kalimat :
"Srir
Astu Swasti Prajabyah" yang berarti :
"Semoga
Bahagia, Selamatlah Rakyat Sekalian".
Isi Prasasti Plumpungan (Bahasa Jawa Kuna) :
1. //Srir = astu swasti prajabyah sakakalatita 672/4/31/..(..)
2. Jnaddyaham //O//
3. //dharmmartham ksetradanam yad = udayajananam yo dadatisabhaktya
4. hampragramam triaramyamahitam = anumatam siddhadewyasca tasyah
5. kosamragrawalekhaksarawidhiwi dhitam prantasimawidhanam
6. tasyaitad = bhanunamno bhuwi bhatu yaso jiwitamcatwa nityam
1. //Srir = astu swasti prajabyah sakakalatita 672/4/31/..(..)
2. Jnaddyaham //O//
3. //dharmmartham ksetradanam yad = udayajananam yo dadatisabhaktya
4. hampragramam triaramyamahitam = anumatam siddhadewyasca tasyah
5. kosamragrawalekhaksarawidhiwi dhitam prantasimawidhanam
6. tasyaitad = bhanunamno bhuwi bhatu yaso jiwitamcatwa nityam
Terjemahan :
1. Semoga bahagia ! Selamatlah rakyat sekalian ! Tahun Saka telah berjalan
672/4/31 (24 Juli 760 M) pada hari Jumat
2. tengah hari
3. Dari beliau, demi agama untuk kebaktian kepada yang Mahatinggi, telah
menganugerahkan sebidang tanah atau taman, agar memberikan kebahagiaan kepada
mereka
4. yaitu desa Hampra yang terletak di wilayah Trigramyama (Salatiga) dengan persetujuan
dari Siddhdewi (Sang Dewi yang Sempurna atau mendiang) berupa daerah bebas pajak
(perdikan)
menganugerahkan sebidang tanah atau taman, agar memberikan kebahagiaan kepada
mereka
4. yaitu desa Hampra yang terletak di wilayah Trigramyama (Salatiga) dengan persetujuan
dari Siddhdewi (Sang Dewi yang Sempurna atau mendiang) berupa daerah bebas pajak
(perdikan)
5. ditetapkan dengan tulisan aksara atau prasasti yang ditulis menggunakan ujung
mempelam dari beliau yang bernama Bhanu. (dan mereka) dengan bangunan suci atau
candi ini. Selalu menemukan hidup abadi.
mempelam dari beliau yang bernama Bhanu. (dan mereka) dengan bangunan suci atau
candi ini. Selalu menemukan hidup abadi.
Komentar
Posting Komentar